Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 15]
Rabu, 13 Desember 2017

Bismillah.

Segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Salawat beriring salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya; nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah samar bagi kita betapa pentingnya tauhid dalam kehidupan ini. Tauhid menjadi asas kebahagiaan insan. Tauhid merupakan kunci kebahagiaan dan jalan yang mengantarkan manusia menuju keselamatan. Dengan tauhid pula manusia akan meraih keamanan dan limpahan hidayah dari Rabb semesta alam.

Pada bagian sebelumnya telah kita bawakan ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82)

Iman yang bersih dari syirik adalah sebab untuk meraih keamanan di akhirat dan petunjuk di dunia. Petunjuk di dunia berupa ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang membuahkan rasa takut kepada Allah. Amal salih yang ikhlas dikerjakan karena Allah dan tidak tercampuri syirik, serta amal itu sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ilmu, iman, dan amal salih itulah seorang muslim akan berada di atas hidayah. Tanpa ilmu, iman, dan amal salih maka jalan menuju surga akan buntu baginya.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Rugi Berat

Salah satu sebab manusia merugi adalah ketika tidak bisa menggunakan waktu dengan baik. Oleh sebab itu dalam surat al-’Ashr Allah bersumpah dengan waktu ashar atau waktu secara umum bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki iman, amal salih dan saling menasihati dalam kebenaran serta saling menasihati dalam kesabaran.

Bentuk kerugian paling berat adalah ketika Allah berikan kehidupan dan waktu bagi manusia untuk mengumpulkan bekal terbaik bagi kehidupan akhirat dan masa depannya tetapi banyak manusia justru terlena dan larut dalam kesenangan semu yang melupakan mereka akan tujuan hidupnya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhawatirkan kemiskinan yang menimpa umatnya. Akan tetapi yang paling dikhawatirkan oleh beliau adalah ketika dunia dibukakan bagi kaum muslimin sehingga mereka saling berlomba mencaplok dunia seperti orang-orang terdahulu sebelum mereka sehingga sebagian kaum itu binasa sebagaimana mereka binasa.

Benar-benar merugi; orang yang sudah diberi nikmat oleh Allah dan rezeki tetapi malah menggunakan fasilitas dan nikmat itu untuk mencelakakan dirinya sendiri. Mereka tenggelam dalam penghambaan kepada selain Allah dan berpaling dari tauhid dan keikhlasan. Mereka rela menjual agamanya demi merasakan ceceran kesenangan duniawi yang semu dan sementara belaka. Padahal kehidupan dunia itu penuh dengan kesenangan yang menipu dan memperdaya manusia. Banyak orang justru memasrahkan hidup dan jiwanya untuk mengabdi kepada Iblis dan bala tentaranya. Mereka tergoda dengan iming-iming kelezatan palsu dan angan-angan semu.

Tidak henti-hentinya Iblis mengirim pasukannya untuk menyesatkan manusia. Sebab dia telah bersumpah di hadapan Rabbnya untuk menyesatkan manusia dan menjadikan mereka sebagai pengikutnya kecuali mereka yang ikhlas mengabdi kepada Rabbnya. Iblis sejak dulu sudah enggan untuk tunduk kepada perintah Rabbnya. Iblis pun merasa bahwa dirinya lebih baik daripada Adam yang tercipta dari tanah. Iblis enggan patuh dan tetap menyombongkan diri.

Betapa merugi orang yang memilih berada di barisan pasukan Iblis dan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk membuat ridha Iblis. Padahal Iblis hanya akan mengantarkan dirinya menuju jurang neraka dan akan berlepas diri darinya. Iblis menjebak pengikutnya dalam kegelapan demi kegelapan padahal sebelumnya mereka telah tersinari cahaya kebenaran. Oleh karena itulah golongan setan itulah sesungguhnya kaum yang paling merugi.

Ibadah kepada Allah itulah sebenarnya rahasia keberuntungan seorang hamba. Karena dengan mengabdi kepada Allah dan mewujudkan syukur kepada-Nya, niscaya Allah tambahkan nikmat baginya dan menjaganya di mana pun ia berada. Karena dia ingat kepada Allah maka Allah pun ingat kepadanya dengan bantuan dan pertolongan-Nya. Karena itulah kaum beriman merasa tentram hatinya dengan dzikir kepada Allah dan tauhid kepada-Nya. Hati mereka hidup dengan iman dan sejuk dengan ketaatan. Mereka sadar bahwa hanya Allah yang bisa menolong mereka, yang bisa memberikan bantuan di saat sempit dan lapang, dan satu-satunya yang mengatur segala urusan.

Ibadah kepada Allah itulah yang membuat para rasul berpeluh keringat bahkan bersimbah darah di jalan dakwah. Mereka sadar bahwa kesusahan dan rintangan yang dihadapinya jauh lebih ringan daripada pedihnya azab Jahannam. Mereka sadar bahwa kebahagiaan tidak mungkin diraih dengan memuja hawa nafsu dan mengikuti ajaran dan bisikan setan. Itulah hiburan yang diberikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga Yasir radhiyallahu’anhum yang menghadapi siksaan begitu berat di awal-awal perjuangan Islam ketika beliau mengatakan kepada mereka, ”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji untuk kalian adalah surga…” (HR. a-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman)

Tidak ada yang bisa merasakan kelezatan ini kecuali mereka yang telah mengenal Allah dan meyakini kebenaran janji-Nya. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Biarlah tebasan pedang dan tusukan tombak melukai badan tetapi iman di dalam hati tetap terhunjam dengan merasakan manisnya tauhid dan ketaatan…

Orang-Orang Yang Malang

Ada sebuah ucapan yang masyhur dari Malik bin Dinar rahimahullah. Beliau mengatakan, “Orang-orang yang miskin (baca: malang) dari penduduk dunia. Mereka keluar dari dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik/lezat di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepada beliau, “Apakah sesuatu yang paling lezat di dalamnya?” beliau menjawab, “Mencintai Allah, tenang bersama-Nya, rindu bertemu dengan-Nya, dan menikmati kesejukan dzikir dan taat kepada-Nya.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/160)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, adalah kenikmatan yang sangat besar bagi kita; ketika Allah berikan taufik kepada kita sehingga menjadi termasuk diantara kaum muslimin pengikut ajaran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah nikmat yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman; yaitu ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Dimana dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan diri-diri mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah/as-Sunnah, dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (Ali ‘Imran : 164)

Dengan mengikuti petunjuk dan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah- maka seorang insan akan menjadi bahagia di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Sebaliknya, dengan berpaling dari ajaran Islam dan menentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjerumuskan ke dalam kebinasaan dan pedihnya azab Jahannam. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing bersama kesesatan yang dia pilih, dan kelak Kami akan masukkan dia ke dalam Jahannam; dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Islam inilah agama yang diridhai oleh Allah dan akan mengantarkan pemeluknya ke dalam nikmatnya kehidupan dan indahnya surga yang abadi. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Nikmatnya iman dan lezatnya ketaatan hanya akan dirasakan di dunia oleh orang-orang yang menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Islam telah membawa para sahabat dari gelapnya syirik dan budaya jahiliyah menuju indahnya tauhid dan terangnya keimanan. Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam; maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam niscaya Allah akan menghinakan kami.”

Nikmat iman inilah yang membuat seorang budak bernama Bilal rela untuk menanggung siksaan dari majikannya demi mempertahankan kalimat tauhid. Nikmat iman inilah yang membuat seorang dermawan bernama Abu Bakar untuk membebaskan Bilal. Nikmat iman inilah yang membuat pasangan suami istri bernama Yasir dan Sumayyah rela mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan aqidah. Nikmat iman inilah yang membuat Ka’ab bin Malik bersama dua orang temannya untuk memilih berkata jujur sehingga diboikot/tidak diajak bicara berminggu-minggu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Nikmat iman inilah yang membuat seorang bernama Abu Hurairah mau bersabar menanggung lapar demi menggali ilmu dari seorang insan yang paling dicintainya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merasakan nikmatnya ketaatan dan lezatnya amal salih, sejuknya dzikir dan hangatnya keikhlasan, segarnya hidayah dan teduhnya penghambaan. Kenikmatan-kenikmatan ruhiyah yang menghiasi hati kaum beriman jauh lebih berharga dan lebih indah daripada kenikmatan-kenikmatan badaniyah berupa harta, kesehatan, dan semacamnya. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa melakukan hal itu maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Munafiqun : 9)

Abul ‘Abbas al-Harrani rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Maka bagaimanakah keadaan seekor ikan apabila memisahkan diri dari air?”. Hati akan menjadi hidup dan bercahaya dengan dzikir dan keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)

Majelis ilmu dan halaqah dzikir adalah taman-taman surga yang akan menyejukkan hati dan menyirami nurani dengan hidayah dan petunjuk Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melewati taman-taman surga, singgahlah!” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu taman-taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah dzikir.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan, lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 65)

Dzikir -sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair- mencakup segala bentuk ketaatan kepada Allah. Barangsiapa taat kepada Allah sesungguhnya dia tengah berdzikir kepada-Nya. Dan barangsiapa yang tidak taat kepada Allah maka dia bukanlah orang yang sebenar-benarnya berdzikir kepada-Nya walaupun dia banyak membaca tasbih, tahlil, dan tilawah al-Qur’an. Oleh sebab itu para ulama salaf menafsirkan halaqah dzikir dengan majelis-majelis ilmu; yang di dalamnya dibahas tentang halal dan haram, tentang hidayah dan kesesatan.

Orang-orang yang malang -seperti yang dikatakan oleh Malik bin Dinar- adalah mereka yang hidup di alam dunia -dengan merasakan segala nikmat dunia dari Allah- namun tidak [mau] merasakan kelezatan iman, dzikir, tauhid, dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman; yang mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Dan orang-orang kafir penolong mereka adalah thaghut; yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan…” (al-Baqarah : 257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca ‘subhanallahi wabihamdih’ maka akan ditanamkan untuknya sebuah pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan sahih, lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 75)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh apabila aku membaca ‘subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, dan Allahu akbar’ itu lebih aku cintai daripada dunia ini yang mana matahari terbit di atasnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang pada sore hari atau pagi hari membaca ‘Radhiitu billaahi Rabban wa bil islaami diinan wa bi Muhammadin -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- rasuulan’ maka layak baginya untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan, lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 77)

Hadits yang agung ini -sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama- merupakan salah satu dalil yang menunjukkan atau mengisyaratkan pentingnya mempelajari tiga landasan utama; yaitu mengenal Allah, mengenal Islam, dan mengenal nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sinilah kita bisa mengetahui bahwa sesungguhnya hakikat ‘orang-orang yang malang’ itu adalah mereka yang tenggelam dalam kelalaian, syirik, kekafiran, kemunafikan, dan kebid’ahan. Orang-orang yang tidak mentauhidkan Allah dan tidak mau tunduk kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang-orang yang lebih memperturutkan segala kemauan hawa nafsunya dan menobatkannya sebagai panglima dan komandan dalam hidupnya. Orang-orang yang mengangkat sesembahan tandingan bagi Allah; padahal semua sesembahan itu tidak mendatangkan manfaat atau mudhorot kepada mereka, tetapi mereka tetap saja ‘ngotot’ dengan alasan, “Mereka itu adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah.” (Yunus : 18)

Orang-orang yang malang itu lebih mencintai pendapat dan perasaannya daripada petunjuk dan bimbingan Allah. Sebagian ulama menasihatkan, ‘fakun ma’a muraadihi minka wa laa takun ma’a muraadika minhu’ yang artinya, “Jadilah [tunduk] bersama kehendak Allah kepadamu dan janganlah menjadi [pembangkang] bersama kehendakmu kepada-Nya.”

Orang-orang yang malang lebih mengutamakan kehidupan dunia -yang sementara dan akan sirna- daripada kehidupan akhirat -yang kekal dan selama-lamanya-. Orang-orang yang malang menjadikan dunia ini sebagai surga -dimana dia berbuat di dalamnya sesuka hati tanpa ada larangan dan aturan yang mengekang hawa nafsunya- adapun orang-orang yang bahagia menjadikan dunia ini sebagai samudera -dimana mereka menjadikan amal salihnya sebagai bahtera untuk berlayar di atasnya-.

Imam Malik rahimahullah mengatakan -seolah beliau sedang menasihati kita semuanya yang hidup di masa kini-, “as-Sunnah -yaitu ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya- adalah bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya dia akan selamat. Dan barangsiapa tidak ikut naik di atasnya pasti akan tenggelam.”

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menuturkan sebuah kalimat yang indah -dengan nada memberikan nasihat dan bimbingan untuk kita semuanya-, “Bukanlah yang mengherankan adalah pada diri orang yang celaka; bagaimana dia bisa celaka. Akan tetapi yang mengagumkan adalah pada diri orang yang selamat; bagaimana caranya dia bisa selamat.” (lihat transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh beliau yang diterbitkan oleh www.ajurry.com, hal. 13)

Di sinilah kami kembali teringat sebuah doa yang dibaca oleh seorang ulama -sebagaimana dikisahkan oleh seorang guru kami yang mulia; semoga Allah senantiasa menjaganya dan memberkahi umurnya- bahwa beliau mengatakan ‘Allahumma ahyinaa ‘alal Islam wa amitnaa ‘alas Sunnah’ yang artinya, “Ya Allah, hidupkanlah kami di atas Islam dan matikanlah kami di atas Sunnah -yaitu di atas ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Hal itu tidak lain karena sesungguhnya hati umat manusia berada diantara jari-jemari ar-Rahman; dimana Allah membolak-baliknya sebagaimana apa yang dikehendaki-Nya. Allah berikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah sesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya dengan penuh keadilan dari-Nya. “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu. Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku menuju ketaatan kepada-Mu.” Semoga kita tidak meninggalkan doa itu, sebagaimana suri tauladan dan panutan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -orang yang paling berilmu dan paling bertakwa- pun senantiasa membaca doa yang agung ini dalam hari-hari yang beliau lalui…

Kunci Pokok Keberuntungan

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, surat al-‘Ashr menyimpan begitu banyak pelajaran berharga. Sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia mau merenungkan kandungan surat ini niscaya hal itu akan cukup untuk mereka.” (lihat catatan kaki It-haful ‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 23 dan keterangan Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 10)

Di dalam surat al-‘Ashr terkandung pelajaran bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalamnya; yaitu beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Adapun orang-orang yang kehilangan sifat-sifat ini maka dia pasti merugi (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 19)

Di dalam surat ini telah disebutkan bahwasanya orang yang beruntung itu adalah orang-orang yang beriman. Sementara iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Keyakinan ini akan benar jika ditegakkan dengan ilmu, demikian pula ucapan dan amalan akan lurus apabila dilandasi dengan ilmu. Dengan kata lain iman tidak bisa terwujud kecuali dengan pondasi ilmu (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh alu Syaikh, hal. 22 dan Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 17 dan Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh al-Barrak, hal. 8)

Surga tidak akan bisa dimasuki dan diraih kecuali dengan bekal iman dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Masuklah kalian ke dalam surga dengan apa-apa yang telah kalian amalkan.” (an-Nahl : 32). Dan tidak ada jalan untuk mengenali iman dan amal salih kecuali dengan ilmu yang bermanfaat (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitab beliau Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 65)

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Sahih-nya dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal’. Sebab ucapan dan perbuatan tidaklah menjadi benar kecuali dengan ilmu. Ilmu itulah yang akan meluruskan ucapan dan amalan. Bahkan, tidak ada keimanan yang benar kecuali apabila dilandasi dengan ilmu (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/226-227)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus; yaitu jalan orang yang diberikan nikmat dimana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu, sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/shirothol mustaqim (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/227)

Amal salih merupakan buah dari ilmu dan keimanan. Orang yang diberikan karunia oleh Allah berupa ilmu dan keimanan niscaya akan melakukan amal-amal salih. Bahkan orang-orang yang beruntung itu juga berusaha untuk memberikan nasihat satu sama lain. Mereka mengingatkan satu sama lain. Yaitu mereka ‘saling menasihati dalam kebenaran’; yang dimaksud kebenaran di sini mencakup ilmu, iman, dan amal salih. Mereka juga saling menasihati untuk sabar. Saling menasihati dalam kebenaran dan dalam kesabaran pada hakikatnya adalah bagian dari amal salih. Dan amal salih merupakan bagian dari iman. Dengan demikian intisari sebab keberuntungan itu adalah ada pada keimanan (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Barrak, hal. 9)

Oleh sebab itulah Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat.” (Ibrahim : 27). Yang dimaksud orang beriman itu adalah yang di dalam hatinya terisi keimanan yang sempurna -tidak rusak- sehingga melahirkan amal-amal anggota badan. Allah berikan kepada mereka keteguhan di saat diterpa syubhat dengan karunia berupa ilmu dan keyakinan. Dan Allah berikan kepada mereka keteguhan di saat diterpa fitnah syahwat dengan kehendak dan tekad yang kuat sehingga lebih mengedepankan kehendak Allah di atas hawa nafsunya. Demikian pula ketika maut menjemput Allah berikan kepadanya keteguhan di atas agama Islam, mendapatkan husnul khotimah, dan bisa menjawab pertanyaan kubur dengan benar (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 425-426)

Apabila demikian keadaannya, maka iman adalah sesuatu yang paling mahal dan paling berharga di alam nyata dan perbendaharaan paling bernilai di dunia ini. Barangsiapa kehilangan iman sesungguhnya telah kehilangan kehidupan yang hakiki. Karena sesungguhnya tidak ada kehidupan yang hakiki bagi seorang insan tanpa keimanan. Adapun semata-mata berjalan dengan kaki, mengambil dengan tangan, berbicara dengan lisan tanpa dibarengi keimanan kepada Allah sesungguhnya itu adalah kehidupan ala binatang; karena tidak ada bedanya dalam hal ini antara manusia dengan hewan. Kehidupan hakiki adalah kehidupan yang diisi dengan ketaatan kepada ar-Rahman dan kesetiaan kepada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tajdid al-Iman karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 3-4)

Demikian, semoga bermanfaat

Penyusun : www.al-mubarok.com

—–

 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-15/